Pengaruh Pendidikan Terhadap Bangsa Indonesi
Pengaruh Pendidikan Terhadap Bangsa Indonesi
Anomali pendidikan di Indonesia
Dinamika pendidikan di Indonesia saat ini tak ubahnya ucapan pepatah “senjata makan tuan”. Pendidikan di Negeri kita dewasa ini tidak lah berorientasi kepada tujuan dari esensi pendidikan itu sendiri yakni seperti yang termaktub dalam UU. No. 3/2003 tentang system pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pada awal kalimat undang-undang diatas, kita masih tidak menemukan anomali terhadap das sein dan das sollen dari tujuan pendidikan, namun ketika sampai pada pertengahan kalimat hingga akhir mulailah terlihat anomali-anomali yang cukup jelas di sekeliling kita bersama tepatnya pada potongan undang-undang yang berbunyi “agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa […] serta bertanggung jawab.” Kita melihat dan sadar bahwa ungkapan diatas kiranya hanya sampai pada tataran normatif saja tak sampai menjamah tataran praksis dalam keberlangsungan pendidikan dewasa ini.
Bila kita melihat realita saat ini, sangatlah berbeda sama sekali dengan cita-cita pendidikan yang termaktub dalam undang-undang tersebut. Pendidikan tak ubahnya suatu kewajiban yang harus dijalankan karena ada peraturan bukan lagi karena kebutuhan manusia terhadap ilmu yang dipelajarinya. Lebih akut lagi, pendidikan saat ini tak ayal bak barang yang bisa di perjual belikan siapa butuh dan mampu menebus maka ia dapat. Bahkan tidak sedikit ditemui oknum-oknum yang sengaja menyediakan jasa-jasa tak bermoral tersebut dan yang amat sangat disayangkan bahwa oknum-oknum tersebut duduk dalam jajaran pemerintahan.
Cita-cita pendidikan seakan menjadi hal yang utopis pada tataran praksisnya. Bila pada tataran normatif diajarkan bersikap tegas dalam menghadapi masalah serta jujur dan adil kala memutuskan suatu masalah ataupun memberi sebuah solusi, dalam tataran praksis akan ditemukan hal yang sama sekali berbeda. Ketika menghadapi masalah maka yang dikedepankan adalah kepentingan golongan sehingga bukan jujur dan adil yang menjadi tolak ukur sebuah kebenaran. Melainkan nafsu dan ambisi. Maka tak heran bila solusi yang dihasilkan juga tak jauh berbeda dengan kehendaknya yakni nafsu dan ambisi. Hal itu berimplikasi terhadap bangsa, sehingga bangsa yang seharusnya makmur dan tentram ini menjadi ricuh dan penuh kontradiksi dimana-mana.
Sangat miris ketika mendengar kericuhan terjadi dimana-mana disebabkan oleh ulah beberapa oknum yang tak bertanggung jawab sedangkan mereka adalah orang-orang yang dipercaya oleh rakyat dalam mengawal Negeri Indonesia menjadi lebih bermartabat ke depannya.
Pendidikan ideal akan mengantarkan sang empunya menuju ketenangan dan ketentraman yang tiada lain adalah manifestasi dari ilmu yang di dapat dari pedidikan yang bermanfaat. Seperti dawuh dari seorang alim ulama’ terkenal. Shahibu madzahibil arba’ah, imam Muhammad bin idris asy- syafi’i atau biasa kita kenal dengan imam syafi’i salah satu imam dari empat madzhab beliau diakui dunia perihal keilmuannya. Beliau berkata bahwa ilmu manfaat itu ibarat cahaya yang menerangi hidup pemiliknya. Semakin manfaat ilmu yang ia miliki, maka semakin terang pula cahaya yang menyinarinya sehingga jelas padanya apa yang baik dan buruk.
Dan hal tersebut (kemanfaatan dalam ilmu) berkaitan erat dengan keadaan sosial-budaya dimana intelektualis itu bertempat. Kaitannya adalah pada tataran pencarian ilmu tersebut; tempat, teman bergaul serta lingkungan tempat intelektualis tersebut mencari ilmu. Ahmad Wahib, seorang intelktualis islam, menegaskan dalam karyanya yakni pergolakan pemikiran islam, bahwasannya kaum intelektualis mempunyai pengaruh yang sangat besar dan fundamental dalam proses perubahan sosial-budaya karena 1. dalam proses tersbut seorang intelektualis adalah seorang pelopor dan motivator dalam lingkungannya, 2. mereka memiliki pola berfikir yang tidak sama dengan pola piker masyarakatnya, 3. seorang intelktualis adalah orang yang responsive, ekspresif, dan formulatif, 4. Mereka jujur dan berani, 5. Serta kreatif bukan malah reaktif.
Pendidikan : barometer kembang majunya bangsa
Pengaruh pendidikan sangatlah signifikan terhadap tumbuh kembangnya suatu bangsa. Tak sedikit sejarah mencatatkan bahwa bangsa yang terbelakang dapat menjadi suatu bangsa yang superior karena basis pendidikan dalam negeranya bermutu. Sebut saja Negara Jepang yang saat ini merajai pasar industri bersaing dengan korea selatan dan Negara-Negara adi kuasa yang lain. Kita masih ingat bahwa kejadian buruk sempat menimpa Jepang pada peristiwa Hiroshima dan Nagasaki yang telah meluluh lantahkan sebagian besar dari Negeri samurai tersebut. Namun, hal tersebut tidak membuat Jepang menjadi putus asa. Terbukti dengan kobaran api semangat seorang pemimpin pada waktu yang berkata, “ boleh lah kita sekarang di bom oleh amerika, namun beberapa tahun kedepan kita akan membalaskan dendam kita dengan menge-bom mereka pula namun bukan dengan atom seperti saat ini namun dengan hasil industri kita.” Beberapa puluh tahun berselang, Jepang mampu menunjukkan taji-nya di kancah dunia dengan beberapa produk hasil Negaranya macam polytron, Toshiba dll.
Pendidikan adalah benteng utama suatu bangsa. Dengan berkembangnya pendidikan secara tidak langsung suatu bangsa akan semakin kuat ke depannya. Konteks pembangunan dalam dunia pendidikan ada pada proses pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusianya. Menteri pendidikan dan kebudayaan, Anies Baswedan bekata, “ Indonesia adalah Negara yang makmur dan kaya akan sumber daya alam. Namun bangsa ini lupa satu hal yang penting yakni sumber daya manusianya. ” eksploitasi pihak tak bertanggung jawab yang selama ini menimpa Indonesia adalah salah satu fakta jelas minimnya pemberdayaan manusia kita.
Lebih lanjut ia berkata bahwa ia pernah ditanyai oleh beberapa koleganya pada suatu ketika. Ia ditanya tentang hal apa yang paling berharga dalam Negara Indonesia ini. Lantas ia balik bertanya kepada mereka, “ bila menurut kalian apakah hal itu?.” Mereka pun memberikan jawaban yang bermacam-macam, ada yang menjawab emas dan perak dan juga ada yang menjawab rempah-rempah. Namun, Anies Baswedan menjawab dengan sesutau yang berbeda dari koleganya tersebut. ia menjawab bahwa Bangsa inilah harta yang paling berharga di Negeri ini. Bukan emas, perak dan rempah-rempahnya seperti yang selama ini diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain selama hampir 500 tahun.
Pendidikan adalah tongggak kesuksesan suatu bangsa. Bisa juga dikatakan bahwa barometer kemajuan bangsa ada pada sektor pendidikan. Bila ingin memakmurkan rakyat dan Negara, maka terlebih dahulu bagun kedaulatan bangsa dengan pendidikan sebagai semangat perjuangan.
Realita anomali pendidikan bukan lah hal yang tabu dewasa ini. Maraknya praktek amoral itu berjalan lurus tanpa hambatan dengan “ketaqwaan” pemerintah terhadapnya. Bila kita mau flashback ke belakang, maka kita menemui hal yang sama sekali berbeda dengan kenyataan zaman ini. Mungkin hal ini yang mejadikan Indonesia –meminjam kata-kata cak nun- dijuluki “gatot kaca sakit lupus”, penyakit autoimun yang diidap Indonesia tak lain karena masyarakat belum “bangun” dari “mimpi indah” cukup materi dengan mengesampingkan moralnya. Dan hal ini kemudian menjadi embrio baru yang merusak cita-cita pendidikan.
Oleh karenanya, bila kita ingin merubah apa yang selama ini berjalan dalam siklus pendidikan yang bobrok ini, kita lebih dulu harus me-recover pondasi pendidikan yang selama ini hanya berorientasi pada materi saja tanpa peduli nilai moral yang sebenarnya lebih penting dari apapun sehingga produk-produk yang dihasilkan pun tak lagi berlabel materi saja, melainkan seimbang dengan moralnya. Dan kemudian diharapkan dari seimbangnya materi dan moral tersebut, pendidikan di Indonesia dapat kembali meng-orbit sesuai “poros”nya seperti yang dicita-cita kan semula.
“pendidikan adalah eskalator untuk menaikkan posisi rakyat jelata dari ketertinggalan dan ketergantungan menjadi kemajuan dan kemandirian.” – Anies Baswedan.
Komentar
Posting Komentar